Feeds:
Pos
Komentar

Tentang Murdianto

Murdianto, di beberapa media massa sering di kenal dengan Murdianto An-Nawie. Kini menetap di Somoroto, yang terkenal sebagai situs pertama kali kelahiran Reog tepatnya sebelah barat kota Ponorogo. Ia terlahir ditengah keluarga Petani di pesisir selatan pulau Jawa tepatnya di Trenggalek, pada 26 Februari 1980. Pendidikan formal terutama dasar dan menengah-nya ditempuhnya di Trenggalek dan menyelesaikan studi S 1 di STAIN Tulungagung tahun 2002 dengan skripsi berjudul “Proses Pendidikan dan Krisis Modernitas”. Pendidikan informalnya dilalui Madarasah Al-Amin Pule Trenggalek, kemudian selama tiga tahun (1995-1997), semasa sekolah sempat ngaji di Ma’had (Ponpes) Al Iman, Surondakan Trenggalek. Dan pada masa kuliah di Ponpes Mahasiswa Al Muhajirin Tulungagung 1999-2002.

Selama mahasiswa ia aktif dalam beberapa komunitas kebudayaan baik di dalam maupun di luar kampus. Komunitas Teater Protest, dan Pengasuh Teater Anak Plosokandang. Sempat mampir juga di komunitas teater KSB Jember, walau hanya 2 bulan. Juga adalah salah seorang pendiri Komunitas seni rupa “SEKAR KUSIR” di STAIN Tulungagung

Selain itu pengalaman organisasinya terasah di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dari tingkat Rayon, Ketua Umum PMII Komisariat Sunan Ampel, sampai Sekretaris Umum PMII Cabang Tulungagung 1998-2002, dan terakhir sebagai Koordinator Biro Kaderisasi PB PMII tahun 2005-2007.  Pada masa mahasiswa inilah penagalaman intelektualnya di tempa, terutama sebagai moderator Seminar- Nasional maupun Regional dan Bedah Buku serta fasilitator berbagai pelatihan dan kursus pengetahuan (terutama linguistik, filsafat, antropologi, sosial dan kebudayaan).

Setelah menyelesaikan s1 di STAIN Tulungagung, melanjutkan studi pasca sarjana  Magister Sosiologi UMM, tamat tahun 2008. Sebelumnya ia aktif pada beberapa lembaga kajian dan penelitian sebagai Staf dan Pengurus Lembaga. antara lain sebagai kepala biro penelitian dan kajian LP2M Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo 2004-2007. Selain itu Aktif sebagai Direktur pelaksana Institute for Religion and Cultural Studies, lembaga yang memfokuskan diri pada isu agama dan kebudayaan. Selain aktif sebagai aktivis muda di NU, kini terpilih sebagai salah satu Presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), sebuah aliansi pesantren dan LSM agama di Jawa sejak tahun 2005-2010. Puluhan tulisannya telah diterbitkan oleh beberapa media nasional, serta beberapa buku telah terbit terutama tentang tema sosial. Selain itu disela-sela waktu luangnya, tetap mengabdikan diri di ruang pendidikan.

Oleh : Murdianto *

7,2 triliun dalam setahun hanya jadi asap…!”demikian ucapan dari Mat Solar dalam sebuah ‘iklan-sosialisasi’ kenaikan BBM yang sering muncul di Televisi sebelum BBM dinaikkan pada tanggal 1 Maret. Walaupun kemudian Pemeran Bajuri dalam sebuah TV swasta ini, menyadari keterlibatannya dalam iklan ini sama artinya dengan “menari di atas kesulitan rakyat bangsa sendiri” (24/2). Akhirnya setelah BBM naik, kontroversi kenaikan harga BBM tidak berakhir, namun ‘propaganda’ pemerintah pun tak galah gencar menghadapi pro kontra itu.

Kontroversi seputar kenaikan BBM, sesungguhnya hampir merupakan langganan rutin dalam lima tahun terakhir. Yang berbeda kali ini adalah, bahwa pemerintah sebagai pemegang otoritas akan kebijakan ini dipimpin presiden SBY yang nota bene adalah pilihan rakyat sendiri. Dan kelihatannya memang pemerintahan kali punya strategi jitu, setidaknya menyediakan anggaran yang besar untuk ‘bersosialisasi’ dan ‘berpropaganda’ bahwa kebijakan mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM adalah pilihan yang tidak pernah salah.

Presiden SBY meyakini bahwa kebijakan menaikkan BBM untuk tahun ini, memang merupakan keharusan. Bahkan SBY sendiri sudah siap bila kebijakan ini akan menurunkan popularitas dia sebagai presiden pilihan rakyat (25/2). Tidak aneh memang, karena bangsa kita telah menyepakati bahwa bila seseorang di pilih mayoritas rakyat, sesungguhnya dia sedang memegang legitimasi itu. Tapi, soal popularitas adalah soal SBY saja, sementara bagi rakyat lapis terbawah soal popularitas atau tidak bukan urusan mereka.

Kini bangsa kita harus merenungkan dengan sesungguhnya beberapa hal -meminjam pertanyaan Gus Mus – apakah seseorang yang ‘dipilih’ kemudian benar-benar menjadi pembela kepentingan ‘yang memilih’? ataukah untuk kepentingan lainnya? Namun lewat sistem demokrasi tak langsung, rakyat menyerahkan terhadap orang per-orang. Penyerahan ini sebenarnya mengandung beberapa konsekuensi tertentu, baik bagi mereka yang menyerahkan yakni konstituen, dan di beri legitimasi dalam hal ini presiden SBY.

Pertama, konstituen akan mendelegasikan kekuasaan yang dimilikinya. Berarti dalam tahap tahap tertentu ‘hak dan kedaulatan’ yang dimilikinya telah diberikan. Berarti kepercayaan ini, mengandaikan ‘hak dan kedaulatan’nya bisa digunakan orang lain yang mewakili. Namun kontrol atas penggunaan ‘hak dan kedaulatan’ itu adalah keharusan. Namun kontrol yang dipunyai adalah kontrol pasif, karena substansi hak itu telah diserahkan.

Kedua, pemegang hak, yakni presiden SBY, menerima pendelegasian hak dan kedaulatan itu menanggung konsekuensi pertanggungjawaban. Dia bisa menggunakan pendelegasian itu sebagai klaim atas kebijakan-kebijakan-nya dalam kehidupan berbangsa. Pertanggungjawaban ini memiliki konsekuensi etis sekaligus politis, yang mengikat bagi mereka yang menerima pendelegasian kekuasaan rakyat itu.

Reaksi penolakan kebijakan kenaikan BBM, datang dari berbagai pihak. Dan ini sekaan menjadi langganan rutin setiap pemerintah sebelum dan sesudah melaunching kebijakan yang sama sekali tidak populer ini. Dan kelihatannya, ‘telinga’ pemerintah dan DPR sudah begitu terbiasa dengan suara penolakan ini. Fenomena ini menununjukkan apa yang di gelisahkan rakyat, bahwa mereka selalu ditinggalkan dalam pengambilan kebijakan ini merupakan suatu kenyataan.

Hal ini sudah terjadi, dan setidaknya ini menjadi ‘pepeling’ sekaligus ‘pendidikan politik’ yang kesekian kalinya bagi rakyat, bahwa hak-hak politik mereka harus di salurkan secara cermat dan berhati-hati. Walau dalam soal kenaikan BBM, siapapun presidennya pasti akan tetap terjadi. Karena kebijakan ini tidak lain adalah dampak di tanda tanganinya Letter of Intent dengan IMF pada tahun 1998. Yang salah satu isinya adalah pencabutan subsidi BBM, sampai angka nol. penghapusan subsidi di segenap lapangan ekonomi.

Andrew Gamble (1988) menjelaskan konsepsi neo liberal yang di intervensikan IMF kepada pemerintah kita, memandang subsidi merupakan bentuk ketidakadilan. Melalui subsidi, negara secara tidak langsung dianggap menstimulasi karakter masyarakat yang tidak produktif. Oleh karena itu, subsidi idealnya dihapus sehingga potensi kompetisi masyarakat dapat ditumbuhkan. Penghapusan subsidi semakin mendapatkan momentum tatkala negara sedang berada dalam kisaran kebangkrutan. Subsidi, dalam konteks ini, dianggap terlalu membebani anggaran negara. Dengan demikian argumen penghapusan subsidi memperoleh tambahan justifikasi.

Walaupun, pemerintah telah menjanjikan bahwa kenaikan harga BBM, bukan berarti subsidi akan di cabut hanya akan di alihkan untuk subsidi pada bidang lain. Subsidi pendidikan, pertanian, daerah tertinggal dan sejenisnya. Hanya saja memang pengalaman subsidi BBM sebelumnya, terjadi banyak problem yang sulit teratasi. Dan yang pasti subsidi BBM akan memiliki pengaruh yang berbeda dengan subsidi dibidang lain bila memang pengalihan subsidi ini menjadi komitmen pemerintah. Yang jelas rakyat merasakan dampak dari kepanikan ini, yakni melambungnya biaya hidup. Sementara dalam kondisi normal semacam ini saja kehidupan sudah sebegitu sulit

Propaganda kekuasaan

Kebijakan kenaikan BBM tahun ini hadir dengan cara berbeda, yakni soal sosialisasi atau lebih layak dikatakan propaganda pemerintah. Seakan-akan kebijakan ini bukan kebijakan yang menyengsarakan rakyat, karena pemerintah akan menjadi ‘siterklas’ yang akan membagi-bagi uang untuk subsidi di bidang lain. Hampir dua bulan lebih media cetak dan elektronik, menjadi alat sosialisasi dan propaganda dari kebijakan ini. Dan Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informasi) menjadi garda depan dalam propaganda ini. Dan ditambah lagi dengan komentar para pengamat ekonomi, yang mendukung kebijakan tersebut.

Kegelisahan rakyat akibat kebijakan ini, seakan dialihkan dengan janji-janji baru dan hiburan baru. Hal ini bisa di mengerti sebagai strategi yang diyakini akan meredam gejolak sosial yang mungkin muncul. Dalam perfektik analisis wacana, upaya ini merupakan praktek hegemoni terselubung negara. Yang berusaha, melakukan ‘penyamaan’ pandangan rakyat.

Wacana memang berfungsi sebagai kekuatan yang bertindak dan berpengaruh merupakan bagian pelaksana dari kekuasaan. Upaya meritualisasi pandangan bahwa ‘subsidi BBM tidak memiliki pengaruh positif terhadap masa depan Indonesia’, adalah cara untuk menyembunyikan dampak-dampak yang sebenarnya lebih bisa dirasakan rakyat, dari pada di wacanakan pakar dan iklan-iklan sosialisasi. Dan dapat dipastikan segala bentuk kebijakan pencabutan subsidi dan kenaikan BBM akan membawa akibat kesengsaraan rakyat. Walaupun, akan di alihkan dalam bentuk subsidi lain, dampak pengalihan ini tidak akan seberapa besar di banding dengan akibat pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak.

Dan yang pasti kekuasaan negara, memang sekedar menyediakan jalan lempang bagi kekuatan kapitalisme internasional untuk menguasai ‘ekonomi bangsa ini’. Dan oleh karena itu wajarlah jika kemudian, mereka melakukan propaganda untuk kepentingan kapitalisme global. Karena memang mereka lebih memberikan keuntungan bagi segelintir elit, baik elit politik, dan elit ekonomi bangsa ini. Manifestasi konkret dari ‘pencengkeraman ini’ adalah didorongnya negara untuk melakukan kebijakan privatisasi, swastanisasi, penghentian subsidi besar-besaran, sampai pada pengetatan APBN. Walaupun sampai habis tenaga orang, berteriak menolaknya, berbagai kebijakan ini pasti akan mengalir begitu saja. Wallahu a’lam bishawab

Murdianto, Peneliti Sosial

Oleh : Murdianto

Setiap momentum hari besar atau bulan-bulan suci keagamaman (Islam) acara televisi mulai di isi dengan hiruk pikuk suara ‘acara religius dan islami’. Mulai infotaiment, yang melaporkan kehidupan religius artis yang penuh gemerlapan, atau sinetron yang bercerita tentang suasana keluarga kaya, lengkap dengan penghayatan agama-nya. Atau akhir-akhir ini televisi sering menyiarkan dzikir bersama, yang mehgadirkan sosok-sosok ‘kyai layar kaca’ seperti AA Gym, Ustad Arifin Ilham, Ustad Hariono dan lain sebagainya. Sebenarnya sepintas, hal ini menunjukkan kesemarakan kehidupan keberagamaan kita. Namun ada dimensi lain yang harus di lihat dari fenomena ini.

Fenomena ini salah satu bagian dari problem-problem keberagamaan sekaligus kebudayaan, diantara problem-problem lain di era kekinian. Globalisasi yang hampir tidak lain adalah proses hilangnya batas-batas geografis akibat perkembangan tekhnologi informasi, transportasi dan komunikasi. Namun tidak bisa dikatakan bahwa globalisasi adalah kebutuhan alamiah (natural) manusia, atau sebentuk keniscayaan. Globalisasi bagaimanapun hanya akan menguntungkan mereka yang menguasai tiga pilar diatas. Dan dapat dipastikan akibat proses ini adalah proses marginalisasi (peminggiran) individu, komunitas masyarakat atau bahkan suatu bangsa akibat mereka tidak menguasai pilar inti globalisasi.

Lewat hegemoni globalisasi, tersebut banyak orang menderita amnesia kolektif, mereka lupa akan dosa-dosa kapitalisme sebagai cikal bakal globalisasi. Kapitalisme mutakhir bukan saja telah menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan (seperti proteksi, subsidi) di tingkat nasional untuk melempangkan jalan kapital. Kapitalisme muthakir juga menghilangkan batas-batas etis maupun ekologis pada perdagangan. Ketika segala sesuatu bisa di perdagangkan, maka apapun-baik itu seni budaya, sel, gen, tumbuhan, benih, pengetahuan, air, bahkan polusipun-bisa di perjual belikan. Dan tidak disadari hampir semua negeri di bumi mau tidak mau terjebak dalam kondisi semacam ini.

Akibat dari proses ini hilanglah dimensi fitrah kemanusiaan manusia. Manusia yang setiap hari dera homogenisasi dan cara pikir rasionalisme bertujuan semakin lama terasing dengan kediriannya. Agama dan budaya yang sebelumnya menguatkan kedirian manusia tinggal tersisa bias-bias formalnya saja.

Simbol-simbol agama tampil luar biasa di ruang publik, televisi salah satunya. Muslim Abdurrahman (2003) bahkan menyindir perilaku yang sekarang menjadi trend perilaku keagamaan, bahwa tingkat kekhusyukan dan perilaku kesalehan, salah satunya akan terasa bermakna apa bila di sorot oleh layar televisi. Bahkan formalisme agama yang tampak di layar kaca kita, seakan akan secara halus memberi jalan untuk mennafikkan ‘kebenaran’ orang lain yang tidak sejalan dengan mode itu.

Kebudayaan tempat mengolah daya kemanusiaan yang dimiliki manusia semakin kehilangan kekuatan. Ia tidak lebih daari komoditi massal sama seperti barang-barang lain yang diproduksi secara massal. Manusia teralienasi, terusir dari eksistensi keagamaan, ekonomi, sosial, politik dan budayanya. Dan oleh karena itu upaya menghadapi laju proses marginalisasi dan alienasi ini adalah melahirkan masyarakat yang mampu membangun kekebalan diri terutama dari tarikan komodifikasi agama, atau sekedar menjadikan agama sebagai salah satu mode, bukan sebagai totalitas kehidupan manusia.

Keberagamaan, bukan sekedar mode?

Dalam konteks kehidupan global di mana ‘uang dan mode’ memang menjadi kiblat, moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia mulai ‘jungkir balik’. Drama sejarah peradaban umat manusia ketika memperlihatkan bahwa kapitalisme sesungguhnya lahir secara utuh. Hugh Dalziel Duncan melukiskan kapitalisme sebagai peradaban yang bercirikan uang, dimana uang pertama kali dipercakapkan dalam dalam sisi penuh nilai kebaikan. Akhirnya segala hal akan di nilai dengan pertimbangan ekonomis. Pada babak yang lebih matang, perubahan uang dari lambang kejahatan menjadi lambang kebaikan. (Sutrisno Abdullah:2001)

Seorang ilmuwan barat de Mandeville melihat kecenderungan babak peradaban baru ini, agama dan keberagamaan adalah satu hal dan dagang adalah hal lain. Dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Mengapa demikian? Karena agama setidaknya telah menjadi bagian dari kehidupan individual manusia. Sementara ‘dagang’ menjadi kebutuhan sosial manusia di era liberalisasi ekonomi seperti sekarang ini

Fenomena di awal tulisan ini merupakan suatu, deskripsi bagaimana agama dengan segala sakramen dan ritualituas dan peribadatannya, ‘harus’ menjadikan dirinya sebagai komoditi. Dan bahkan aspek nilai dan substansinya menjadi tergeser sepenuhnya menjadi sekedar komoditi. Fenomena ini menjangkiti, hampir seluruh umat beragama terutama bagi mereka yang seringkali bersentuhan dengan teknologi dan kemajuan sarana informasi.

Dengan pengetahuan ini juga semua hasrat dan keinginan manusia, terpenuhi. Bagaimana sekarang dengan satelit, televisi, internet, dan segala produk tekhnologi modern telah menghilangkan batas ruang dan waktu. Betapa televisi telah memanjakan kita dalam dunia maya yang penuh bayang bayang. Betapa mode dan fashion yang terus berganti-ganti membuat manusia selalu ingin memburunya. Dan beragama, di masa kini seringkali menjadi bagian tidak terpisahkan dari zaman itu sendiri. Akhirnya kadangkala dalam dunia keberagamaan sendiripun menjadi mode dan fashion yang berganti. Tergantung kecenderungan pasar berfihak pada siapa. Persis dengan bergantinya mode pakaian, atau mode kawin cerai di kalangan artis.

Manusia modern, mengalami krisis kejiwaan yang begitu berat. Mereka di dera dengan segala keinginan, dan kehendak tak terbatas. Dalam istilah Jawa: menungso soyo ngangah – angah. Kaum beragamapun seperti berambisi untuk mengejar style hidup, sekedar untuk mendapatkan julukan ‘peka jaman’, dan mampu merespon perkembangan zaman. Manusia yang beragama secara tradisional di surau-surau kecil, pesantren-pesantren desa yang jauh dari sorot kamera, sering di anggap tidak lagi peka terhadap kemajuan.

Islam kita mengajarkan, ingatlah kepada Allah maka hatimu akan menjadi tenang,. Namun bukan berarti, dzikir dan ketenangan hati yang sebenarnya lebih menjadi kebutuhan individual, kemudian bergeser posisinya sekedar menjadi sekedar mode, apalagi bahkan sebuah industri pertunjukkan yang menghasilkan keuntungan-naudzubillah. Dan yang pasti, kemajuan tekhnologi informasi akan terus menerus menimbulkan tarikan komodifikasi ini.

* Murdianto, alumni Ponpes Al Muhajirin Tulungagung, tinggal di Ponorogo

Oleh : Murdianto

“sebuah mobil mengkilat, keluar dari hanggar. Sesaat setelah di buka pintu mobil, terlihatlah perempuan berpakaian hitam, dengan rok yang sangat minim yang pertama kali di tampilkan.“ Iklan-iklan yang sejenis dengan ilustrasi ini, rupanya hampir menjadi ciri dari sebagian besar dalam dunia iklan kita, terutama di televisi.

Satu ciri mencolok, adalah perempuan hampir – hampir menjadi struktur yang dominan. Meminjam cara baca strukturalisme bahasa Jean Paul Sartre (1964), iklan sesungguhnya mempunyai struktur bahasa. Bahwa iklan merupakan penyusunan struktur simbol-simbol (baik gambar/foto, tulisan, gerak) menjadi satu kesatuan, yang diharapkan akan mampu memproduksi makna. Dan proses penggabungan antar unsur (simbol) ini bersifat ‘arbiter atau manasuka’ dan sering juga di sebut sewenang-wenang. Artinya tidak ada hubungan pasti, antar satu unsur dengan unsur lain. Semisal apa hubungan paha perempuan dengan mobil mengkilat, sulit kiranya mencari hubungan struktural semacam ini. Namun akhirnya, penggabungan mobil mengkilat, dengan paha perempuan ini kemudian memproduksi makna tertentu. Orang bisa saja kemudian memaknai, kalau mobil mengkilat itu pasti ‘nyaman’ dinaiki, bisa saja menghubungkan dengan struktur simbol lainnya misalnya, perempuan dengan semua kesan erotisme-nya. Dan inilah cara pemirsa, mengkreasi pemaknaan sesuka hatinya, atau dalam bahasa Stuart Hall (1990) sebagai konsumen kreatif.

Maka, dalam konteks ini iklan harus di baca sebagai struktur yang di hasilkan hubungan antar simbol tersebut. Ini mengandung beberapa konsekuensi, pertama, simbol pasti akan di beri makna seseorang sesuai dengan kepentingan orang yang menggunakannya. Kedua, bila simbol ini di tata dengan rapi, oleh seorang perancang iklan, belum tentu makna yang ada dalam ‘benaknya’akan di ikuti pemirsanya.

figur perempuan, disiplin tubuh dan eksklusi

Posisi figur perempuan dalam iklan, mengundang berbagai tanda tanya. Mengapa perempuan selalu saja di gabungkan dengan barang-barang yang hendak diiklankan? Apakah fungsi perempuan menjadi aktor utama dalam iklan itu, sekedar pelengkap atau pemanis, atau bahkan menjadi obyek dari barang yang di iklankan tersebut?. Yang tertangkan dalam pikiran pemirsa, perempuan bisa tampil menjadi ketiganya. Bahwa iklan tersebut memang dibuat dengan di bintangi seorang perempuan, artinya ia adalah subyek yang memiliki posisi yang kuat. Bisa juga di maknai perempuan hanya sekedar pelengkap saja, karena tujuan dari iklan memang bertujuan mempromosikan barang. Atau bahkan perempuan hanya sasaran dan konsumen semata. Dengan menampilkan seorang figur perempuan, jelas citra yang ingin di produksi adalah perempuan yang bertindak benar dalam mengkonsumsi barang untuk tujuan-tujuan dirinya.

Selain itu perempuan dalam iklan, selalu di tampilkan langsing, dan berperan kalau tidak sedang memanjakan tubuh dengan ber mike-up, dan sebagian besar di citrakan selalu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat domestik. Semisal mencuci, mandi, memasak, dan tentu sebagai partner berhubungan intim seorang lelaki. Dan yang sering kali kita lihat juga, adalah banyak di tampilkannya, zone erogen, wilayah tubuh yang oleh banyak orang dianggap sebagai pengundang birahi kaum adam.

Dalam beberapa kasus, sesungguhnya iklan sedang ‘memperkosa’ seluruh struktur tubuh perempuan dari kondisi alamiahnya. Iklan seakan-akan mengharuskan orang (terutama kaum perempuan) harus memiliki rambut yang mengkilat dan bebas ketombe, dan bererti ia harus menggunakan shampo. Perempuan, harus memiliki wajah yang halus, maka harus menggunakan pelembab, pembersih, dan sejenisnya. Perempuan harus bertubung langsing, dan oleh karena itu harus minum obat dan jamu pelangsing.

Beberapa hal yang dapat di analisis dari fenomena, diatas adalah

Pertama, iklan, secara tidak langsung melakukan konstruksi atas citra perempuan dan mengukuhkan citra itu terutama dalam hubungannya dengan budaya patriarkhi. Dalam budaya patriarkhi, perempuan ‘mesti’ menghuni wilayah domestik yang berhubungan dengan memasak, mencuci dan sejenisnya. Dan juga yang paling berkewajiban mendidik dan menjaga kesehatan anak. Dan bahkan juga akhirnya menjadi korban kekerasan di wilayah ini. Citra ini dengan sangat jelas di representasikan dalam sebagian besar iklan.

Kedua. iklan, secara tidak langsung telah melakukan upaya pendisiplinan atas tubuh perempuan sampai bagian – bagian paling privat (baca: aurat). Manusia yang di impikan mampu menguasai tubuhnya sendiri, akhirnya di paksa secara perlahan mengikuti nilai-nilai yang di tawarkan iklan. Akhirnya perempuan tidak memiliki kebebasan dan otonomi, bahkan atas tubuhnya sendiri. Ia selalu di kendalikan, oleh nilai-nilai yang terus menerus di reproduksi dalam iklan tersebut. Akhirnya perempuan, harus menjebakkan diri dalam dunia konsumerisme yang terus menerus. Dan bukankah ‘disiplin’ mengkonsumsi ini berarti keuntungan bagi produsen produk yang di iklankan tersebut?

Ketiga. Adalah upaya eksklusi, dan pengkelasan (differensiasi) kaum perempuan dalam kategori-kategori tertentu. Yang cantik dan yang tidak cantik, yang modern dan yang kuno, yang beradab dan yang udik dan seterusnya. Bukankan iklan selain menawarkan barang, tentu menawarkan nilai? Bila ingin cantik, perempuan haruslah langsing. Lalu dimana posisi dan hak perempuan yang bertubuh gemuk? Bila ingin cantik, perempuan haruslah memiliki rambut yang terlihat mengkilat, lalu dimana posisi kelompok perempuan yang menggunakan jilbab? Lantas dimana persamaan hak, dan keadilan yang di dengungkan para pecandu demokrasi? Padahal mereka yang mengklaim modern sangat gandrung demokrasi, di satu sisi membuat sebuah eksklusi yang membuat sebuah kelompok sosial berposisi lebih rendah.

Pengkelasan ini akan terjadi bukan hanya dalam kategori perempuan yang mampu secara ekonomi, atau yang miskin dan tentu tidak mampu membeli barang. Pengkelasan ini akan terjadi mulai, soal berat badan, soal kebiasaan, dan seterusnya. Ada kelompok ibu-ibu memasak, ada kelompok remaja di mall, dan banyak kelompok-kelompok yang muncul. Hal ini belum tentu di sadari secara sepenuhnya oleh perempuan. Bukankah hal ini akan mengakibatkan integrasi sosial yang dinamis akan sulit terjadi?

Dan yang pasti, perempuan akan selalu di rugikan dan korbankan dalam konteks ini. Walaupun popularitas yang di dapatkan bintang iklan, dan seakan perempuan di manjakan, sesungguhnya kaum perempuan sedang di jual, di satu sisi. Dan disisi lain, perempuan menjadi konsumen yang harus membelinya kembali. Posisi perempuan yang mendua dalam iklan ini membuatnya perempuan dalam pusara komodifikasi. Selain itu dalam iklan, perempuan sebagai salah satu unsur simbolik telah menjadi ajar perebutan makna, tentang etika, estetika, modernitas. Perempuan dalam iklan, adalah juga perempuan yang menjadi ladang politik makna.

* Alumni STAIN Tulungagung, Peneliti Institute for Religion and Cultural Studies (IRCaS) Ponorogo.