Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Budaya’ Category

Oleh : Murdianto

“sebuah mobil mengkilat, keluar dari hanggar. Sesaat setelah di buka pintu mobil, terlihatlah perempuan berpakaian hitam, dengan rok yang sangat minim yang pertama kali di tampilkan.“ Iklan-iklan yang sejenis dengan ilustrasi ini, rupanya hampir menjadi ciri dari sebagian besar dalam dunia iklan kita, terutama di televisi.

Satu ciri mencolok, adalah perempuan hampir – hampir menjadi struktur yang dominan. Meminjam cara baca strukturalisme bahasa Jean Paul Sartre (1964), iklan sesungguhnya mempunyai struktur bahasa. Bahwa iklan merupakan penyusunan struktur simbol-simbol (baik gambar/foto, tulisan, gerak) menjadi satu kesatuan, yang diharapkan akan mampu memproduksi makna. Dan proses penggabungan antar unsur (simbol) ini bersifat ‘arbiter atau manasuka’ dan sering juga di sebut sewenang-wenang. Artinya tidak ada hubungan pasti, antar satu unsur dengan unsur lain. Semisal apa hubungan paha perempuan dengan mobil mengkilat, sulit kiranya mencari hubungan struktural semacam ini. Namun akhirnya, penggabungan mobil mengkilat, dengan paha perempuan ini kemudian memproduksi makna tertentu. Orang bisa saja kemudian memaknai, kalau mobil mengkilat itu pasti ‘nyaman’ dinaiki, bisa saja menghubungkan dengan struktur simbol lainnya misalnya, perempuan dengan semua kesan erotisme-nya. Dan inilah cara pemirsa, mengkreasi pemaknaan sesuka hatinya, atau dalam bahasa Stuart Hall (1990) sebagai konsumen kreatif.

Maka, dalam konteks ini iklan harus di baca sebagai struktur yang di hasilkan hubungan antar simbol tersebut. Ini mengandung beberapa konsekuensi, pertama, simbol pasti akan di beri makna seseorang sesuai dengan kepentingan orang yang menggunakannya. Kedua, bila simbol ini di tata dengan rapi, oleh seorang perancang iklan, belum tentu makna yang ada dalam ‘benaknya’akan di ikuti pemirsanya.

figur perempuan, disiplin tubuh dan eksklusi

Posisi figur perempuan dalam iklan, mengundang berbagai tanda tanya. Mengapa perempuan selalu saja di gabungkan dengan barang-barang yang hendak diiklankan? Apakah fungsi perempuan menjadi aktor utama dalam iklan itu, sekedar pelengkap atau pemanis, atau bahkan menjadi obyek dari barang yang di iklankan tersebut?. Yang tertangkan dalam pikiran pemirsa, perempuan bisa tampil menjadi ketiganya. Bahwa iklan tersebut memang dibuat dengan di bintangi seorang perempuan, artinya ia adalah subyek yang memiliki posisi yang kuat. Bisa juga di maknai perempuan hanya sekedar pelengkap saja, karena tujuan dari iklan memang bertujuan mempromosikan barang. Atau bahkan perempuan hanya sasaran dan konsumen semata. Dengan menampilkan seorang figur perempuan, jelas citra yang ingin di produksi adalah perempuan yang bertindak benar dalam mengkonsumsi barang untuk tujuan-tujuan dirinya.

Selain itu perempuan dalam iklan, selalu di tampilkan langsing, dan berperan kalau tidak sedang memanjakan tubuh dengan ber mike-up, dan sebagian besar di citrakan selalu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat domestik. Semisal mencuci, mandi, memasak, dan tentu sebagai partner berhubungan intim seorang lelaki. Dan yang sering kali kita lihat juga, adalah banyak di tampilkannya, zone erogen, wilayah tubuh yang oleh banyak orang dianggap sebagai pengundang birahi kaum adam.

Dalam beberapa kasus, sesungguhnya iklan sedang ‘memperkosa’ seluruh struktur tubuh perempuan dari kondisi alamiahnya. Iklan seakan-akan mengharuskan orang (terutama kaum perempuan) harus memiliki rambut yang mengkilat dan bebas ketombe, dan bererti ia harus menggunakan shampo. Perempuan, harus memiliki wajah yang halus, maka harus menggunakan pelembab, pembersih, dan sejenisnya. Perempuan harus bertubung langsing, dan oleh karena itu harus minum obat dan jamu pelangsing.

Beberapa hal yang dapat di analisis dari fenomena, diatas adalah

Pertama, iklan, secara tidak langsung melakukan konstruksi atas citra perempuan dan mengukuhkan citra itu terutama dalam hubungannya dengan budaya patriarkhi. Dalam budaya patriarkhi, perempuan ‘mesti’ menghuni wilayah domestik yang berhubungan dengan memasak, mencuci dan sejenisnya. Dan juga yang paling berkewajiban mendidik dan menjaga kesehatan anak. Dan bahkan juga akhirnya menjadi korban kekerasan di wilayah ini. Citra ini dengan sangat jelas di representasikan dalam sebagian besar iklan.

Kedua. iklan, secara tidak langsung telah melakukan upaya pendisiplinan atas tubuh perempuan sampai bagian – bagian paling privat (baca: aurat). Manusia yang di impikan mampu menguasai tubuhnya sendiri, akhirnya di paksa secara perlahan mengikuti nilai-nilai yang di tawarkan iklan. Akhirnya perempuan tidak memiliki kebebasan dan otonomi, bahkan atas tubuhnya sendiri. Ia selalu di kendalikan, oleh nilai-nilai yang terus menerus di reproduksi dalam iklan tersebut. Akhirnya perempuan, harus menjebakkan diri dalam dunia konsumerisme yang terus menerus. Dan bukankah ‘disiplin’ mengkonsumsi ini berarti keuntungan bagi produsen produk yang di iklankan tersebut?

Ketiga. Adalah upaya eksklusi, dan pengkelasan (differensiasi) kaum perempuan dalam kategori-kategori tertentu. Yang cantik dan yang tidak cantik, yang modern dan yang kuno, yang beradab dan yang udik dan seterusnya. Bukankan iklan selain menawarkan barang, tentu menawarkan nilai? Bila ingin cantik, perempuan haruslah langsing. Lalu dimana posisi dan hak perempuan yang bertubuh gemuk? Bila ingin cantik, perempuan haruslah memiliki rambut yang terlihat mengkilat, lalu dimana posisi kelompok perempuan yang menggunakan jilbab? Lantas dimana persamaan hak, dan keadilan yang di dengungkan para pecandu demokrasi? Padahal mereka yang mengklaim modern sangat gandrung demokrasi, di satu sisi membuat sebuah eksklusi yang membuat sebuah kelompok sosial berposisi lebih rendah.

Pengkelasan ini akan terjadi bukan hanya dalam kategori perempuan yang mampu secara ekonomi, atau yang miskin dan tentu tidak mampu membeli barang. Pengkelasan ini akan terjadi mulai, soal berat badan, soal kebiasaan, dan seterusnya. Ada kelompok ibu-ibu memasak, ada kelompok remaja di mall, dan banyak kelompok-kelompok yang muncul. Hal ini belum tentu di sadari secara sepenuhnya oleh perempuan. Bukankah hal ini akan mengakibatkan integrasi sosial yang dinamis akan sulit terjadi?

Dan yang pasti, perempuan akan selalu di rugikan dan korbankan dalam konteks ini. Walaupun popularitas yang di dapatkan bintang iklan, dan seakan perempuan di manjakan, sesungguhnya kaum perempuan sedang di jual, di satu sisi. Dan disisi lain, perempuan menjadi konsumen yang harus membelinya kembali. Posisi perempuan yang mendua dalam iklan ini membuatnya perempuan dalam pusara komodifikasi. Selain itu dalam iklan, perempuan sebagai salah satu unsur simbolik telah menjadi ajar perebutan makna, tentang etika, estetika, modernitas. Perempuan dalam iklan, adalah juga perempuan yang menjadi ladang politik makna.

* Alumni STAIN Tulungagung, Peneliti Institute for Religion and Cultural Studies (IRCaS) Ponorogo.

Read Full Post »